TOP

Beginikah Etos Kerja Indonesiaku?

Image
Pada kesempatan kali ini saya tidak akan menulis tentang Pengetahuan teknologi ataupun informasi. Akan tetapi saya akan menyampaikan uneg-uneg sekedar review tentang Etos Kerja bangsa tercinta ini, Indonesia. Terlepas dari kamjuan teknologi yang semakin pesat ini, tentunya Etos kerja pun sebenarnya harus meningkat. Di sini Admin hanya ingin membuat sebuah perbandingan dari negara-negara lain yang lebih maju tentunya.

Sebuah pertanyaan: Kenapa kita harus membandingkan dengan negara lain? Alasan saya adalah sudah saatnya kita maju dan bukan berkembang. 350 tahun kita dijajah oleh Belanda dan 3,5 tahun oleh Jepang (Sejarah Indonesia) itu seharusnya sudah menjadi suatu pelajaran yang sangat berharga. Toh pada kenyataannya, kita masih merasa lemah. Padahal kita sudah Merdeka. Sudah saatnya kita bangkit untuk maju, bukan untuk berkembang!

Lantas siapa yang bertanggungjawab untuk kemajuan kita bangsa Indonesia? Kita ! sebagai warga negara Indonesia. Kita sebagai anak-anak bangsa Indonesia yang harus bertanggungjawab penuh untuk kemajuan itu. Dan seharusnya itu semuanya harus didukung dengan ETOS KERJA yang lebih bagus. Seperti apakah Etos kerja yang bagus? Di sini saya akan mencoba memaparkan bagaimana etos kerja negara-negara maju pada saat ini.

Mari saya ajak Anda untuk sedikit flashback kepada negara-negara yang sempat porak-poranda pada saat Perang Dunia ke-2. Jepang dan Jermah.
Belajar dari negara lain, Jerman dan Jepang yang luluh lantak di PD II. Tetapi kini, lima puluh tahun kemudian, mereka menjadi bangsa termaju di Eropa dan Asia. Mengapa? Karena etos kerja mereka tidak ikut hancur. Yang hancur hanya gedung-gedung, jalan, dan infrastruktur fisik. Max Weber menyatakan intisari etos kerja orang Jerman adalah : rasional, disiplin tinggi, kerja keras, berorientasi pada kesuksesan material, hemat dan bersahaja, tidak mengumbar kesenangan, menabung dan investasi. Di Timur, orang Jepang menghayati “bushido”(etos para samurai) perpaduan Shintoisme dan Zen Budhism. Inilah yang disebut oleh Jansen H. Sinamo (1999) sebagai “karakter dasar budaya kerja bangsa Jepang”. Ada 7 prinsip dalam bushido, ialah :

  1. Gi : keputusan benar diambil dengan sikap benar berdasarkan kebenaran, jika harus mati demi keputusan itu, matilah dengan gagah, terhormat,
  2. Yu : berani, ksatria,
  3. Jin : murah hati, mencintai dan bersikap baik terhadap sesama,
  4. Re : bersikap santun, bertindak benar,
  5. Makoto : tulus setulus-tulusnya, sungguh-sesungguh-sungguhnya,
  6. tanpa pamrih,
  7. Melyo : menjaga kehormatan martabat, kemuliaan,
  8. Chugo : mengabdi, loyal.

Jelas bahwa kemajuan Jepang karena mereka komit dalam penerapan bushido, konsisten, inten dan berkualitas. Indonesia mempunyai falsafah Pancasila, tetapi gagal menjadi etos kerja bangsa kita karena masyarakat tidak komit, tidak inten, dan tidak bersungguh-sungguh dalam menerapkan prinsip-prinsip Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Maaf cakap “Ketuhanan Yang Maha Esa” misalnya, sering ditampilkan sebagai “Keuangan yang maha kuasa”. kemanusiaan yang adil dan beradab, diterapkan menjadi “Kekuasaan menentukan apa yang adil dan siapa yang beradab”, “Persatuan Indonesia” prakteknya menjadi “persatuan pejabat dan konglemerat” dsb. Inilah bukti dari ramalan Ronggowarsito dan inilah zaman edan. Dampak kondisi ini etos kerja yang berkembang adalah etos kerja asal-asalan. Beberapa pernyataan berikut adalah gambaran ungkapan yang sering muncul ke permukaan yang menggambarkan etos kerja asalasalan, atau istilah Sinamo (1999) sebagai “etos kerja edan”, ialah :

  • bekerjalah sesuai keinginan penguasa,
  • bekerja sebisanya saja,
  • bekerja jangan sok suci, kerja adalah demi uang,
  • bekerja seadanya saja nggak usah ngoyo, tak lari gunung dikejar,
  • bekerja harus pinter-pinter, yang penting aman,
  • bekerja santai saja mengapa harus
  • ngotot,
  • bekerja asal-asalan saja, wajar-wajar saja, kan gajinya kecil,
  • bekerja semau gue, kan di sini saya yang berkuasa.

Ungkapan seperti tersebut di atas menggambarkan tidak adanya etos kerja yang pantas untuk dikembangkan apalagi menghadapi persaingan global. Maka dari itu wajarlah jika bangsa ini harus menerima pil pahit bencana nasional krisis yang erkepanjangan yang tak kunjung usai.

Rating: 4

Artikel Terkait Tentang:

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda merupakan bahan analisa bagi Admin. Berikan kritik dan saran yang membangun dan bermanfaat. Teriring do'a, Jazaakumullah Khairan Katsiira. Terima kasih telah membaca artikel ini.